01 September 2008

SEJARAH MUHAMMADIYAH

Label:
Tahun ini, untuk yang kesekian kalinya terdapat perbedaan penetapan tanggal 1 Syawal yang merupakan Hari Raya bagi umat Islam antara pemerintah dan beberapa organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah. Pemerintah melalui sidang isbat pada hari Kamis malam tanggal 11 Oktober 2007 yang lalu telah menetapkan tanggal 1 Syawal 1428 H jatuh pada hari Sabtu tanggal 13 Oktober 2007, sedangkan organisasi keagamaan besar lainnya yaitu Muhammadiyah dengan metode perhitungannya sendiri tetap bersikukuh untuk menetapkan tanggal 12 Oktober 2007 sebagai tanggal 1 Syawal 1428 H. Mungkin selama ini kebanyakan dari kita tidak terlalu mengenal atau mendengar organisasi yang satu ini, kecuali pada saat-saat menjelang penetapan Hari Raya Idul Fitri, yang kadang kala terdapat perbedaan seperti contoh diatas. Namun demikian tanpa bermaksud mencari dan mempertegas perbedaan tersebut, ada baiknya untuk menambah wawasan keagamaan, kita mengetahui lebih jauh mengenai sejarah dan latar belakang berdirinya organisasi yang satu ini.

Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912. Beliau lahir pada tahun 1868 di sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta yang bernama Kampung Kauman dengan nama aslinya yaitu Muhammad Darwisy.

Muhammad Darwisy merupakan salah satu anak dari KH. Abu Bakar, seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Berdasarkan silsilah, Beliau masih termasuk dalam garis keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali besar dan terkemuka diantara para Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dalam penyebaran dan pengembangan Agama Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).

Di masa kecilnya, Muhammad Darwisy mengenyam pendidikan dalam lingkungan keagamaan di sebuah pesantren yang mengajarinya tentang pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Di usianya yang masih relatif muda, yaitu pada umurnya yang ke 15, beliau menunaikan rukun Islam yang ke lima yaitu ibadah haji pada tahun 1883. Selanjutnya disana Beliau menetap dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu Agama Islam di Makkah dalam kurun waktu kurang lebih selama lima tahun. Selama belajar ilmu agama disana, Beliau kerap kali berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan didalam dunia Islam saat itu. Tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah rupanya mempunyai dampak yang sangat besar pada diri pribadi Muhammad Darwisy. Seketika itu jiwa dan pemikirannya dipenuhi oleh semangat pembaharuan yang kelak dikemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah.

Muhammadiyah sendiri berdiri dengan dilatar belakangi untuk memperbaharui pemahaman tentang ke-Islaman di sebagian besar dunia Islam di Indonesia yang pada saat itu dianggapnya masih bersifat ortodoks (kolot), serta masih bercampur aduknya ajaran agama Islam dengan ajaran agama yang terdahulu atau kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi. Bercampur aduknya ajaran Islam dengan kebudayaan Non Islam itu sendiri sebenarnya dapat dimaklumi pada saat awal-awal penyebaran agama Islam di Indonesia. Hal ini mengingat sulitnya masyarakat pada waktu itu untuk meninggalkan kebiasan atau ajaran yang telah lama mereka anut sejak nenek moyang, sehingga kebiasaan tersebut masih dilakukan walaupun dengan memasukkan unsur Islam didalamnya. Namun seiring dengan berlalunya waktu, kebiasan-kebiasaan atau cara-cara yang dianggap masih bercampur tersebut masih kerap dilakukan meskipun sudah beradab-abad berlalu sejak awal masuknya Islam di Indonesia, oleh karena itu Beliau memandang hal ini dapat menimbulkan kebekuan ajaran Islam, stagnasi dan keterbelakangan didalam diri umat Islam. Beliau berpikir, pemahaman keagamaan yang demikian, harus diubah melalui gerakan pemurnian ajaran Islam yang kembali kepada ajaran al-Qur'an dan al-Hadits.

Sekembalinya dari tanah Makkah, yaitu pada usia 20 tahun (1888), Beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, Beliau diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Berbekal dari pemikiran-pemikiran yang didapatnya selama mendalami ajaran agama Islam di Makkah, Beliau merasa bertanggung jawab untuk dapat membangunkan, menggerakkan dan memajukan umat Islam di Indonesia. Ahmad Dahlan sadar bahwa keinginannya itu tidaklah mungkin dilaksanakannya seorang diri, melainkan harus dilaksanakan oleh sekumpulan orang yang diatur sedemikian rupa dalam wadah organisasi.

Untuk itu, pada tahun 1912, atau tepatnya pada tanggal 18 Nopember, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi non politik yang bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan yang diberi nama Muhammadiyah. Organisasi ini bertujuan untuk untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Melalui Muhammadiyah, Ahmad Dahlan berkeinginan untuk mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam yang murni yaitu menurut tuntunan seperti yang diajarkan didalam al-Qur'an dan al-Hadits.

Pendirian Muhammadiyah itu sendiri pada awalnya mendapatkan kecaman-kecaman dari berbagai pihak, baik yang datangnya dari keluarga sendiri maupun dari masyarakat disekitarnya. Berbagai fitnahan ditujukan kepadanya. Pada saat itu Beliau dituduh hendak mendirikan suatu agama baru yang menyalahi ajaran-ajaran agama Islam yang telah ada. Namun demikian, segala rintangan-rintangan tersebut dapat dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi segala rintangan tersebut

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu kemudian dikabulkan pada tahun 1914 dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Badan hukum itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan dengan ruang gerak di daerah Yogyakarta saja. Meskipun ruang gerak Muhammadiyah dibatasi oleh Pemerintah Hindia Belanda yang merasa khawatir dengan perkembangan organisasi tersebut, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan tempat lain telah berdiri cabang Muhammadiyah meskipun dengan nama yang berbeda atau dibawah bimbingan Muhammadiyah.

Dalam rangka membangun upaya dakwah, Ahmad Dahlan dengan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilih untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan cara mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri pada waktu diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah).

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah juga disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan cara mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia, sehingga pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini akhirnya dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921

Pada bulan Oktober tahun 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan ulama-ulama lain yang berasal dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan telah menyerang aliran yang telah mapan dan dianggap berusaha membangun suatu mazhab baru di luar empat mazhab yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh berupaya mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut penentangnya merupakan suatu perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menanggapinya dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan keterbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits (itu sendiri). Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka pada tahun 1961 melalui keputusan Presiden No. 657 tahun 1961, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Kiai Haji Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional dengan dasar-dasar penetapan sebagai berikut :

  • KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
  • Melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, Beliau dianggap telah berjasa dalam mencerdaskan dan memajukan masyarakat dan umat.
  • Beliau telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa yang pada saat itu masih terjajah.
  • Beliau telah mempelopori kebangkitan wanita indonesia untuk mengecap pendidikan dan kesetaraan gender melalui organisasi Aisyiyah.

dipostkan dari http://kayadansehat.blogspot.com/search/label/Religi